OPINITANJUNGPINANG

Pantun Melayu: Dari Puisi Tradisi Menjadi Cermin Jiwa Kolektif

Oleh: Yoan S Nugraha
Mahasiswa Pascasarjana STAIN SAR – Kandidat Psikoanalisis (Institut Psikoanalisis Indonesia)

Yoan S Nugraha Mahasiswa Pascasarjana STAIN SAR – Kandidat Psikoanalisis (Institut Psikoanalisis Indonesia) (F-Dok Yoan)

Tanjungpinang (SN) – Pantun adalah salah satu bentuk puisi tertua yang dimiliki masyarakat Melayu. Kita mengenalnya sejak kecil, lewat nyanyian, pelajaran sekolah, atau perhelatan adat.

Baitnya singkat, terdiri atas sampiran dan isi, tetapi memuat makna luas yang kerap tak habis ditafsirkan. Pantun lahir dari budaya tutur, sehingga mudah diingat, dinyanyikan, dan diwariskan lintas generasi.

Di tengah derasnya arus globalisasi, pantun ternyata masih mampu bertahan. Ia muncul di ruang-ruang digital, dijadikan konten hiburan, bahkan sering dipakai sebagai alat diplomasi budaya di tingkat internasional.

Namun, sejauh ini pantun lebih banyak dibaca sebagai karya sastra, sarana pendidikan moral, atau alat pelestarian budaya belaka.

Padahal, pantun menyimpan sesuatu yang jauh lebih dalam, ia adalah cermin dari dinamika bawah sadar kolektif masyarakat Melayu. Kali ini, saya ingin mengajak pembaca melihat pantun dari perspektif psikoanalisis.

Tiga tokoh besar Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, dan Jacques Lacan dilibatkan sebagai “pemandu” dalam membaca pantun.

Freud menekankan bahwa karya budaya adalah hasil sublimasi, penyaluran hasrat tertekan ke bentuk yang dapat diterima masyarakat. Jung menambahkan lapisan ketidaksadaran kolektif: ruang simbolis yang dihuni arketipe universal.

Sementara Lacan mengingatkan bahwa bahasa adalah arena tempat subjek dan hasrat manusia terbentuk selalu ada yang tertunda, selalu ada yang tidak pernah sepenuhnya terpuaskan.

Dengan kacamata ini, pantun berubah dari sekadar puisi berima menjadi teks psikologis. Ia bukan hanya berisi nasihat, hiburan, atau permainan kata, melainkan wadah untuk menyalurkan kerinduan, cinta, rasa bersalah, hingga pencarian pengetahuan.

Mari kita lihat pantun sederhana yang sering dikutip: Kalau ada sumur di ladang, Boleh kita menumpang mandi. Kalau ada umur yang panjang,
Boleh kita berjumpa lagi.

Di balik kerapiannya, pantun ini mengandung simbol mendalam. Freud membaca “sumur” sebagai metafora libido sumber energi hidup sementara “umur panjang” adalah represi kerinduan yang dialihkan ke bentuk doa.

Jung melihat sumur sebagai arketipe “sumber kehidupan”, sedangkan Lacan menyoroti bagaimana janji pertemuan selalu ditunda: sebuah cermin keinginan manusia yang tak pernah selesai.

Contoh lain: Kalau ada jarum yang patah, Jangan disimpan di dalam peti.Kalau ada kata yang salah, Jangan disimpan di dalam hati.

Di sini, jarum patah bukan sekadar benda rusak. Freud menafsirkannya sebagai simbol trauma kecil. Jika disimpan, ia bisa melukai batin. Pesan pantun ini adalah katarsis: lepaskan beban emosi agar jiwa tetap sehat.

Jung melihat jarum patah sebagai kegagalan komunikasi, sementara Lacan menekankan bahwa permintaan maaf hanya sah bila diungkapkan dalam bahasa melalui pengakuan di hadapan orang lain.

Pantun lain berbicara tentang kerinduan: Asam Pauh Delima Batu, Anak Sembilang Di Telapak Tangan, Meski Jauh Beribu Batu
Hilang di Mata Di Hati Jangan

Kalimat sederhana ini menyimpan simbol arketipal tentang kesetiaan dan cinta abadi. Freud melihatnya sebagai sublimasi dari frustrasi akibat perpisahan, Jung membaca simbol delima, asam, dan ikan sebagai representasi kehidupan, sedangkan Lacan menekankan kerinduan sebagai “kekurangan” yang tidak pernah sepenuhnya terisi.

Simbol-simbol alam bunga, sumur, jarum, buah-buahan yang muncul dalam pantun bukan sekadar hiasan estetis. Ia adalah “kode psikis” yang diwariskan lintas generasi, merepresentasikan pengalaman manusia yang paling universal: cinta, kehilangan, pengetahuan, dan spiritualitas.

Kajian ini menunjukkan bahwa pantun dapat dibaca sebagai teks yang menyimpan denyut bawah sadar masyarakat Melayu.

Freud menyoroti pantun sebagai wadah sublimasi hasrat, Jung melihatnya sebagai cerminan arketipe kolektif, dan Lacan menekankan permainan bahasa sebagai ruang keinginan manusia.

Bila kita sintesiskan, maka ketiganya memperlihatkan satu hal penting: pantun adalah cermin jiwa kolektif. Ia tidak hanya mengajarkan norma atau keindahan, tetapi juga menyingkap lapisan terdalam pengalaman manusia.

Pantun adalah cara masyarakat Melayu mengungkapkan sesuatu yang tak bisa diucapkan secara langsung rindu, salah, takut, cinta, harapan.

Selama ini, kajian pantun cenderung menekankan aspek linguistik, estetika, atau sosiologis. Psikoanalisis jarang sekali dipakai. Padahal, perspektif ini memberi kita kunci baru: pantun bukan sekadar artefak tradisi, melainkan teks hidup yang menyimpan dinamika psikis kolektif.

Implikasinya luas. Pertama, bagi dunia akademik, pendekatan interdisipliner ini memperkaya studi sastra Nusantara. Kedua, bagi masyarakat, membaca pantun dengan kesadaran psikis membuat kita lebih dekat dengan diri sendiri.

Ketiga, bagi pelestarian budaya, pantun bisa dipahami bukan hanya sebagai seni kata, tetapi juga sebagai refleksi jiwa bangsa.

Pantun adalah warisan, tetapi juga jendela. Ia menghubungkan kita dengan nenek moyang, sekaligus dengan sisi terdalam diri kita.

Dalam pantun, ada cinta yang ditunda, ada rindu yang tak terucap, ada doa yang disamarkan dalam simbol.

Mungkin inilah sebabnya pantun tidak pernah benar-benar hilang. Ia selalu relevan, karena berbicara tentang hal-hal yang paling mendasar dalam hidup manusia.

Maka, menjaga pantun bukan hanya menjaga budaya, melainkan menjaga cermin untuk melihat siapa kita sesungguhnya. Pantun adalah suara jiwa kolektif yang berbisik sejak dulu dan masih akan terus bersuara, sepanjang kita mau mendengarkannya. (SN*)

Editor : Emha

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *