FGD APPKP Kepri Kupas Tuntas Dampak Putusan MK 135: Demokrasi di Persimpangan Jalan

Tanjungpinang (SN) – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi sorotan hangat dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Asosiasi Pengajar Politik dan Kebijakan Publik (APPKP) Wilayah Kepulauan Riau (Kepri), Kamis (28/8/2025).
Bertempat di Ballroom Hotel Bintan Plaza, Tanjungpinang, diskusi ini mengupas tuntas potensi dampak dari putusan tersebut terhadap kesinambungan pemerintahan dan stabilitas politik nasional.
Acara yang berlangsung selama sehari penuh ini mempertemukan berbagai elemen penting masyarakat: akademisi, pengamat politik, mantan penyelenggara pemilu, mahasiswa, insan pers, perwakilan partai politik, hingga institusi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) dari Tanjungpinang, Bintan, dan Provinsi Kepri. Pemerintah Provinsi Kepri dan Polda Kepri pun turut mengirimkan perwakilannya, menandakan betapa serius isu yang diangkat dalam forum ini.
Ketua APPKP Kepri, M. Hafidz Diwa Prayoga, membuka diskusi dengan nada tegas. Ia menilai Putusan MK 135 bukan sekadar dokumen hukum, tapi memiliki implikasi politis yang dalam.
“Putusan ini membuka potensi fragmentasi dalam pemerintahan. Ketika kesinambungan terganggu, maka kebijakan jadi tak konsisten, dan ujung-ujungnya, rakyat yang menanggung akibatnya,” ujar Hafidz.
Ia mengajak masyarakat sipil agar tak pasif. Menurutnya, pengawalan publik sangat penting agar putusan ini tidak menjadi sumber ketidakpastian dalam praktik demokrasi.
Pengamat politik dan dosen Stisipol, Zamzami A. Karim, menambahkan dimensi lokal ke dalam analisis. Ia mengingatkan bahwa efek domino putusan ini bisa sangat terasa di daerah.
“Ketegangan antar partai dan aktor politik lokal sangat mungkin terjadi. Jika tidak dikelola, stabilitas politik daerah bisa terguncang, dan ini berbahaya bagi demokrasi kita,” katanya.
Zamzami mendorong partai politik untuk tidak hanya bereaksi, tetapi juga berperan aktif dalam merespons perubahan ini secara konstruktif.
Sementara itu, mantan Komisioner KPUD Tanjungpinang, Aswin Nasution, membawa perhatian ke aspek teknis penyelenggaraan pemilu. Ia menyoroti betapa pentingnya regulasi turunan dari putusan MK agar tidak menimbulkan kebingungan di lapangan.
“KPU dan Bawaslu bekerja berdasarkan aturan. Tanpa regulasi teknis yang jelas, penyelenggaraan pemilu bisa jadi amburadul dan rawan sengketa,” tegas Aswin.
Ahli hukum tata negara dari UMRAH, Dr. Okshep Adhyanto, menegaskan bahwa meski putusan MK bersifat final dan mengikat, bukan berarti pelaksanaannya bebas dari risiko.
“Putusan MK tetap harus sinkron dengan regulasi dan prinsip konstitusi lainnya. Jika tidak, justru bisa menimbulkan ketidakpastian hukum yang kontraproduktif bagi demokrasi,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa demokrasi tak hanya soal prosedur, tetapi juga soal kepastian dan keadilan hukum yang menyeluruh.
Diskusi makin hangat ketika forum dibuka untuk peserta. Perwakilan mahasiswa, media, dan partai politik turut menyuarakan pandangan kritis. Ada yang melihat putusan MK 135 sebagai momentum memperkuat sistem politik dan mendorong regenerasi kepemimpinan, namun tak sedikit pula yang menganggapnya sebagai ancaman terhadap stabilitas pemerintahan dan kepastian hukum. (ML-SN)
Editor : Mukhamad