Ritual Adat di Persimpangan, Modernisasi Bawa Dilema bagi Masyarakat Adat

Makassar (SN) – Festival Media 2025 yang digelar di Makassar menghadirkan diskusi bertajuk “Ritual dan Rasa: Reaksi Masyarakat Adat dengan Pangan dan Energi” yang menyoroti dampak modernisasi terhadap kehidupan masyarakat adat.
Diskusi ini menghadirkan Eko Rusdianto, Grantee Pulitzer Center, yang meneliti perubahan tradisi di Toraja, serta perwakilan dari Permata Bank yang memaparkan program pelestarian lingkungan.
Eko Rusdianto menjelaskan bagaimana simbolisme, pangan, dan ritual di Toraja perlahan berubah akibat modernisasi. Ia mencontohkan ukiran ayam pada Tongkonan yang sarat makna spiritual.
“Ukiran ayam di Tongkonan paling tinggi, ada yang menghadap ke barat sebagai perlambangan hubungan dengan Tuhan, sementara ayam koro menghadap ke timur sebagai perlambangan kehidupan. Lantas bagaimana modernisasi melihat hal itu?” ujarnya, Sabtu (13/9/2025).
Baca Juga : Fesmed AJI 2024 di Makassar: Seruan Lantang untuk Menjaga Demokrasi dan Kebebasan Pers
Selain itu, ia mengulas tradisi Bulu Londong atau adu ayam di Toraja yang dahulu digunakan sebagai hiburan dalam ritual kematian sekaligus media penyelesaian sengketa tanah tanpa kekerasan. Pemenang aduan menentukan pihak yang berhak, sementara ayam yang kalah kemudian dimakan bersama. Namun, tradisi ini mengalami pergeseran seiring masuknya ayam impor dari Filipina dan Peru.
“Dulu ayam lokal menjadi bagian penting dari ritual. Tapi sekarang, banyak orang beralih ke ayam ras karena lebih murah, sekitar Rp40.000–Rp50.000 per ekor. Akibatnya, ayam lokal semakin langka,” jelas Eko.
Fenomena ini terlihat jelas dalam ritual penyembelihan ayam kaliabo di Makale, Toraja. Jika dulu ayam berukuran besar dengan kaki kuning dipersembahkan, kini yang tersedia sering kali hanya ayam kecil karena keterbatasan pasokan lokal.
Diskusi juga menghadirkan perspektif lain terkait hubungan masyarakat adat dan lingkungan. Melalui inisiatif PermataHati, Permata Bank menunjukkan komitmennya dalam menjaga kelestarian ekosistem dengan melindungi habitat Gajah Sumatera di kawasan Bukit Tigapuluh.
“Gajah Sumatera adalah salah satu dari sedikit hewan liar yang terancam punah di Indonesia. Bukit Tigapuluh menjadi rumah terakhir bagi satwa langka ini bersama spesies dilindungi lainnya,” kata Head CSER Permata Bank, Hanggoro Seno.
Data menunjukkan, 70 persen hutan Sumatera hilang dalam 25 tahun terakhir, membuat populasi gajah terus menurun. Saat ini, hanya sekitar 120 ekor gajah yang tersisa di Bukit Tigapuluh. Di kawasan itu juga hidup 221 jiwa masyarakat adat yang harus berbagi ruang dengan satwa liar. (AJI -SN)
Editor : Mukhamad