Gelombang PHK Hantam Dunia Media, Ratusan Jurnalis Kehilangan Pekerjaan Tanpa Kompensasi Layak

Pertemuan Menteri Ketenagakerjaan,Yassierli dengan  Aliansi Jurnalis Independeng (AJI) Indonesia dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) membahas terkait industri media di Indonesia yang tengah terguncang, Kamis (5/6/2025). (F-AJI Indonesia)

Jakarta (SN) – Industri media Indonesia tengah berguncang. Dalam beberapa bulan terakhir, ratusan pekerja media baik dari perusahaan nasional maupun lokal menjadi korban gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.

Namun yang lebih memprihatinkan, banyak dari mereka diberhentikan tanpa mendapatkan hak normatif seperti pesangon, tunjangan, hingga asuransi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan data terbaru dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, lonjakan PHK ini didominasi oleh alasan penurunan pendapatan iklan dan perubahan strategi bisnis. Namun, proses pemecatan kerap berlangsung tanpa transparansi, dialog, maupun kepastian hukum bagi para jurnalis. Dalam beberapa kasus, bahkan ditemukan praktik union busting upaya sistematis untuk membungkam serikat pekerja yang memperjuangkan hak anggotanya.

“Banyak pekerja diberhentikan secara tiba-tiba, tanpa kompensasi yang layak atau ruang negosiasi. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal keadilan,” tegas Nani Afrida, Ketua AJI Indonesia, dalam pertemuannya dengan Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, Kamis (5/6/2025).

Baca Juga : Ribuan Personel Dikerahkan! Polri Siaga Penuh Amankan Laga Panas Timnas Indonesia vs China di SUGBK

Kualitas Jurnalisme Terancam, Jurnalis Dipaksa Bertahan di Tengah Ketidakpastian
Krisis ini bukan hanya soal kehilangan pekerjaan. Dampak jangka panjangnya bisa menggerus kualitas dan independensi jurnalisme di Indonesia.

Para jurnalis yang masih bertahan di redaksi kini menghadapi beban kerja yang berlipat, status kerja yang tak menentu, dan minimnya perlindungan sosial.

AJI juga mencatat praktik kerja tak manusiawi lainnya: kontrak jangka panjang tanpa perjanjian kerja, sistem kemitraan yang menggantungkan gaji pada iklan, hingga upah jurnalis yang di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Kondisi ini jauh dari standar layak bagi profesi yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi.

“Ironisnya, di tengah peran vital jurnalis menjaga demokrasi, mereka justru diperlakukan seperti tenaga kerja murahan,” ungkap Nani.

Dalam pertemuan dengan Menteri Ketenagakerjaan, AJI Indonesia dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) mengajukan tiga tuntutan utama:

1. Transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses PHK, sesuai hukum ketenagakerjaan.

2. Pemenuhan hak normatif pekerja media, termasuk upah layak, pesangon, tunjangan, dan jaminan sosial.

3. Keterlibatan serikat pekerja dalam setiap keputusan yang menyangkut nasib pekerja.

“Industri boleh berubah, tetapi martabat pekerja tidak bisa ditawar,” tegas Aisha Shaidra, Ketua FSPMI.

Menteri Tenaga Kerja Yassierli menyatakan komitmennya untuk menindaklanjuti laporan-laporan pelanggaran ketenagakerjaan di sektor media. Ia menegaskan, Kementerian siap menerima laporan terkait upah di bawah UMR, sistem kemitraan ilegal, dan pemberangusan serikat pekerja. (SN)

Sumber : AJI Indonesia
Editor : Mukhamad

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *