Laut Natuna Utara: Benteng Maritim Indonesia Menghadapi Klaim Negara Asing
Penulis : Sutana

Kepulauan Riau (SN) – Kesadaran kolektif masyarakat Indonesia, termasuk di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang merupakan wilayahnya, istilah “Laut China Selatan” sering digunakan untuk merujuk pada perairan di bagian utara Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya. Padahal, sejak tahun 2016, Pemerintah Indonesia telah resmi mengubah nama perairan ini menjadi “Laut Natuna Utara”.
Perubahan nama ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah langkah penting dalam memperkuat kedaulatan maritim Indonesia. “Laut Natuna Utara” tidak hanya mencerminkan identitas nasional, tetapi juga menegaskan hak dan kepentingan Indonesia atas wilayah strategis tersebut.
Bila menilik kekayaan Laut Natura Utara berdasarkan studi tahun 2011, di laman resmi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Nerpadu Satu Pintu Kabbupaten Natuna, potensi ikan laut di Natuna mencapai 504.212,85 ton per tahun.
Angka ini hampir 50 persen dari total potensi perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 yang mencakup Laut China Selatan, Laut Natuna, dan Selat Karimata, dengan total 1.143.341 ton per tahun.
Keberagaman ikan di Laut Natuna telah dikonfirmasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dalam Putusan No. 47 Tahun 2016. Laut Natuna kaya akan berbagai jenis ikan seperti ikan pelagis kecil, ikan demersal, ikan karang, udang penaeid, lobster, kepiting, rajungan, dan cumi-cumi.
Selain ikan, Natuna juga memiliki potensi minyak dan gas (migas) yang signifikan. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Blok East Natuna memiliki volume gas awal (Initial Gas in Place/IGIP) sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf) dan cadangan gas sebesar 46 tcf.
Blok ini dikelola oleh konsorsium yang terdiri dari Pertamina, ExxonMobil, dan PTT Exploration and Production Plc (PTTEP). Selain itu, potensi minyak di blok ini mencapai 36 juta barel, namun baru 25 ribu barel yang dimanfaatkan.
Laut Natuna juga memiliki posisi strategis sebagai jalur perdagangan utama, dengan sekitar 1.000 kapal melintasi setiap harinya. Hal tersebut membuat wilayah ini menjadi rebutan dan saling klaim sebagai pemilik yang sah atas laut dan isinya.

Kembali ke penamaan Laut Natuna Utara oleh Pemerintah Indonesia, hal tersebut mendapat respon dan protes keras dari negara China yang sejak dulu mengklaim, bahwa laut tersebut masuk dalam wilayahnya dan hal itu terus terjadi sampai saat ini.
Dikutip dari Pusat Penelitian Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI, klaim China ini yakni atas dasar, konsep ‘sembilan garis putus-putus’ atau nine-dash-line. China selama ini sudah mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan, yakni sekitar 90% yang meliputi area seluas sekitar 3,5 juta kilometer persegi (1,4 juta mil persegi).
Klaim teritorial sepihak China di Laut China Selatan sendiri kerap bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang dimiliki oleh Indonesia (perairan Natuna), beberapa negara ASEAN lainnya, serta Taiwan
Negara yang mengklaim perairan ini adalah China, Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam. China, misalnya, pada 1947 mengeluarkan peta baru yang merinci klaim kedaulatan mereka terhadap teritorial perairan Laut China Selatan, atau sohor dengan istilah “Sembilan Garis Putus-putus” (Nine-Dashed Line).
Sementara itu, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei, dan Malaysia, mengklaim bahwa sebagian wilayah Laut China Selatan masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara tersebut berpijak pada Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nations Convention on the Law of Sea (Unclos, 1982).
Indonesia sebenarnya sejak awal bukanlah negara pengklaim. Indonesia tidak pernah mengklaim wilayah perairan dari Laut China Selatan, yang diperselisihkan oleh Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam di satu sisi, dengan China di sisi lain.
Namun, sejak 2010 Indonesia jadi ‘terlibat’ dalam sengketa Laut China Selatan, setelah China secara sepihak mengklaim terhadap keseluruhan perairan Laut China Selatan. Termasuk di dalamnya ialah perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, yaitu sebuah kawasan di utara kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Pengakuan sepihak China atas perairan Natuna itu, akhirnya banyak kapal nelayan China menangkap ikan di perairan Indonesia tersebut. Dengan hal itu, Indonesia berupaya menahan kapal-kapal penangkap ikan China di Laut Natuna Utara itu. Setelah itu nota protes pemerintah China meminta agar kapal yang ditahan untuk dilepaskan, dan kasus ini mengakibatkan hubungan Indonesia dan China sempat memanas.
Kasus serupa terjadi kembali pada 2013 dan berpuncak pada 2016. Kemudian, pada 2017, Indonesia meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia versi baru. Peta tersebut menitikberatkan pada perbatasan laut Indonesia dengan negara lainnya.
Berdasarkan data di laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sejak Oktober 2014 hingga penenggelaman kapal terakhir pada Oktober 2019, total 556 kapal telah dimusnahkan. Kebijakan ini diambil sebagai upaya tegas pemerintah Indonesia untuk memberantas praktik illegal fishing di perairan nasional.
Dari total 556 kapal yang ditenggelamkan, berikut rincian kapal berdasarkan negara asal: Vietnam: 312 kapal, Filipina: 91 kapal, Malaysia: 87 kapal, Thailand: 24 kapal, Indonesia: 26 kapal, Papua Nugini: 2 kapal, Nigeria: 1 kapal, Belize: 1 kapal, China: 3 kapal.
Kebijakan penenggelaman kapal ini merupakan bagian dari upaya besar pemerintah Indonesia untuk menjaga kedaulatan maritim dan memastikan kelestarian sumber daya ikan. Dengan tindakan tegas terhadap kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing, Indonesia berharap dapat memberikan efek jera dan melindungi ekosistem lautnya.

Menjaga Kedaulatan dengan Membangun Pusat Pertahanan di Natuna
Klaim-klaim sepihak dari sejumlah negara atas Laut Natuna Utara, Provinsi Kepulauan Riau ini terus terjadi. Dimana kapal-kapal nelayan asing masuk dan menjarah kekayaan ikan yang ada di laut Natuna, termasuk kapal perang China dengan leluasa keluar masuk di perairan tersebut.
Bahkan kapal perang China berani mengusir nelayan Indonesia yang tengah menangkap ikan di lautnya sendiri, dan justru melindungi kapal-kapal nelayan mereka yang menjarah ikan.
Dilansir dari laman resmi DPR RI menyebutkan, kapal-kapal China, mulai dari kapal coast guard hingga kapal perang, sering terlihat di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara. Kehadiran kapal-kapal ini telah menimbulkan ketakutan di kalangan nelayan Indonesia.
Atas hal tersebut Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa Indonesia harus tegas dalam menangani pelanggaran kedaulatan oleh China di Laut Natuna Utara. Pemerintah diingatkan untuk tidak membiarkan negara lain terus mengganggu wilayah kedaulatan Indonesia.
“Pemerintah tidak bisa berdiam diri saat negara lain memasuki wilayah kita tanpa izin. Indonesia harus mampu menjaga kedaulatan, karena ini menyangkut harga diri bangsa,” ujar Puan dalam keterangan tertulisnya.
Ketua DPR RI, mengingatkan bahwa ini bukan kali pertama kapal China memasuki perairan Natuna. Ia meminta pemerintah untuk segera menyatakan sikap kepada China agar tidak mengganggu kedaulatan Indonesia.
“Presiden Joko Widodo pernah turun langsung ke perairan Natuna sebagai sinyal kepada China bahwa kedaulatan Indonesia tidak bisa diganggu. Langkah tersebut patut diapresiasi. Saya rasa pemerintah perlu menyampaikan kembali nota protes kepada China,” tegasnya.
Puan juga mendesak pemerintah Indonesia untuk menanyakan maksud di balik pengiriman kapal perang dan kapal survei China ke perairan Indonesia, yang diawasi oleh kapal coast guard mereka.
Menurut Puan, pemerintah harus menunjukkan komitmen serius dalam mengatasi persoalan ini dan memperbaiki pertahanan negara di wilayah perairan Natuna yang sering bermasalah akibat konflik Laut China Selatan.
Badan Keamanan Laut (Bakamla) melaporkan adanya ribuan kapal asing di Laut Natuna Utara, termasuk kapal-kapal dari Vietnam yang berusaha mengambil ikan dari perairan Indonesia. Namun, baik Bakamla maupun TNI mengalami kesulitan dalam mengambil tindakan karena keterbatasan armada dan bahan bakar.
Atas hal tersebut, sebenarnya Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dalam uaya menjaga kedaulatannya, dengan memperkuat pertahanan di wilayah terdepan Indonesia, khususnya di Pulau Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Seperti dilansir di laman resmi Kemenhan RI. Sejak tahun 2015 hingga 2019, Kementerian Pertahanan telah melakukan sejumlah pembangunan sarana dan prasarana pertahanan negara di sana.
Salah satu pembangunan yang dilakukan adalah pelebaran Runway Lanud Raden Sajad, Ranai, Natuna. Pada tahun 2016, dilakukan pelebaran runway sepanjang 2.300 meter, dengan lebar awal 32 meter menjadi 46 meter, memungkinkan dua pesawat tempur untuk mendarat atau lepas landas secara bersamaan.
Tahun 2017, pembangunan di Lanud Raden Sajad dilanjutkan dengan pembangunan Apron dan sarana prasarana pendukung lainnya. Pada tahun 2018, rencananya adalah pembangunan Shelter Siaga Pesawat Tempur, sarana akomodasi prajurit TNI berupa barak dengan kapasitas 200 orang, serta pembangunan sarana prasarana lainnya.
Selain pembangunan untuk TNI AU, Kementerian Pertahanan juga melakukan pembangunan untuk TNI AL, seperti pembangunan Dermaga Penagi dan perpanjangan serta pelebaran Dermaga Sebang Mawang di Pulau Natuna. Untuk TNI AD, dilakukan pembangunan Mako dan Batalyon Raider.
Dalam upaya mendukung semua itu, pemerintah pusat juga memperkuat jaringan telekomunikasi yang selama ini menjadi kendala, dimana dalam hal ini melibatkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkoinfo), dengan membangun infrastruktur seperti Palapa Ring.
Sedangkan untuk mendukung sarana transportasi laut, udara dan darat melalui Kementerian Perhubungan membangun Terminal Bandara Ranai, dan Pelabuhan RoRo. Tentunya upaya ini bertujuan untuk meningkatkan kedaulatan negara di wilayah-wilayah terdepan, termasuk Natuna.
Pemerintah Republik Indonesia juga telah meluncurkan proyek pembangunan dermaga Bakamla RI di Setokok, Batam pada tahun 2023 lalu, dengan tujuan utama untuk melengkapi prasarana yang diperlukan dalam menghadapi kompleksitas pelanggaran serta gangguan keamanan dan keselamatan laut.
Tak hanya itu, dermaga ini juga diharapkan dapat mendukung pelaksanaan penegakan hukum di laut, terutama di zona maritim barat Indonesia. Pentingnya pembangunan dermaga ini tidak hanya terbatas pada penegakan hukum di laut, namun juga berdampak pada penguatan kapasitas serta mobilitas kapal patroli.
Dengan adanya dermaga ini, diharapkan mobilitas dan jangkauan kapal patroli akan meningkat, khususnya dalam upaya penguatan keamanan di laut Natuna guna menudkung dan menjaga kedaulatan wilayah Indonesia secara utuh.
Salah satu aspek krusial dari pembangunan dermaga Bakamla RI di Setokok adalah peningkatan kemampuan untuk menghadapi berbagai bentuk pelanggaran hukum maritim. Kompleksitas pelanggaran tersebut meliputi berbagai kegiatan ilegal seperti pencurian ikan, perdagangan manusia, narkotika, serta tindakan terorisme maritim.
Dengan memiliki dermaga yang dilengkapi dengan fasilitas dan infrastruktur yang memadai, Bakamla RI dapat lebih efektif dalam melakukan patroli, pengawasan, dan penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Selain itu, pembangunan dermaga ini juga merupakan bagian dari strategi lebih luas untuk meningkatkan kehadiran dan keberadaan Indonesia di laut Natuna yang strategis. Natuna merupakan salah satu wilayah yang rawan terhadap berbagai ancaman keamanan, termasuk sengketa maritim dengan negara tetangga.
Dengan memiliki dermaga di Setokok, Bakamla RI akan memiliki basis operasi yang lebih kokoh dan strategis untuk memantau, mengawasi, dan merespons berbagai potensi ancaman yang muncul di wilayah tersebut.
Dalam konteks penguatan kapasitas, pembangunan dermaga ini juga akan memberikan manfaat jangka panjang bagi Bakamla RI. Dengan infrastruktur yang memadai, Bakamla RI dapat meningkatkan efisiensi operasionalnya, meningkatkan kesiapan operasional, serta meningkatkan koordinasi antar unit dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Dengan demikian, pembangunan dermaga Bakamla RI di Setokok tidak hanya merupakan investasi dalam meningkatkan keamanan maritim Indonesia, tetapi juga merupakan langkah strategis dalam memperkuat kedaulatan negara di wilayah laut yang strategis seperti Natuna.

Perkuat Kedaulatan: Kunjungan Strategis Presiden Joko Widodo ke Natuna
Presiden RI Joko Widodo telah menunjukkan komitmen luar biasa terhadap kedaulatan Indonesia di perairan Natuna dengan melakukan kunjungan strategis sebanyak empat kali selama masa jabatannya. Kunjungan pertama pada tahun 2016 terjadi tidak lama setelah insiden penembakan kapal nelayan China oleh kapal perang Indonesia, yang memicu protes keras dari pemerintah China.
Dalam momen bersejarah, Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas di atas kapal perang KRI Imam Bonjol di perairan Natuna. Tindakan ini mengirimkan pesan kuat kepada dunia bahwa perairan Natuna adalah bagian dari kedaulatan Indonesia yang tidak bisa diganggu gugat oleh negara lain.
Pada kunjungan kedua di tahun yang sama, Presiden Jokowi kembali ke Natuna untuk meninjau alat utama sistem persenjataan (Alutsista) TNI Angkatan Udara. Di Bandar Udara Ranai, Natuna, Presiden bahkan sempat menaiki pesawat tempur Sukhoi Su-27/30, menegaskan kesiapan militer Indonesia dalam menjaga wilayahnya.
Kunjungan ketiga Presiden terjadi pada tahun 2017, di mana ia hadir untuk menyaksikan langsung latihan perang Pasukan Pemukul Reaksi Cepat TNI di Tanjung Datuk, Natuna. Latihan ini menunjukkan kesiapsiagaan dan kekuatan militer Indonesia dalam menghadapi ancaman.
Terakhir, pada tahun 2020, Presiden Jokowi kembali ke Natuna untuk meninjau Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu di Selat Lampa. Kunjungan ini menekankan pentingnya sektor kelautan dan perikanan sebagai bagian dari upaya mempertahankan kedaulatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Rangkaian kunjungan ini tidak hanya menunjukkan keseriusan Presiden Joko Widodo dan Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan perairan Natuna Utara sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di mata dunia sebagai negara yang tegas dalam menjaga wilayahnya.
Kedaulatan Membawa Kebaikan dan Kesejahteraan bagi Masyarakat Kepri
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan tegas mendukung upaya peningkatan pembangunan infrastruktur keamanan baik di laut, darat, dan udara yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Infrastruktur yang dibangun tidak hanya memberikan manfaat langsung dalam meningkatkan keamanan, tetapi juga berpotensi besar untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Natuna dan daerah perbatasan Provinsi Kepri lainnya.
Salah satu dampak positif yang telah dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama nelayan di Natuna, adalah perasaan keamanan yang semakin meningkat. Mereka tidak lagi hidup dalam keterbatasan atau ketakutan akan kehadiran kapal-kapal perang China yang seringkali mengganggu aktivitas penangkapan ikan di perairan Indonesia.
Kapal-kapal patroli Indonesia yang rutin beroperasi di Laut Natuna Utara telah berhasil mengurangi kehadiran kapal-kapal asing yang merugikan kedaulatan Indonesia, termasuk kapal perang China dan kapal penangkap ikan ilegal dari negara lain. Hal ini tentunya memberikan keuntungan besar bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. **