OPINI : Gus Dur, Pondok API Tegalrejo, dan Jemaah Tarbiyah (Cikal Bakal PKS)
Oleh: Mukhamad Rofik, S.Ikom,M.AP
Cucu Kiai Ismail, Karang, Kebon Agung, Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
Tanjungpinang (SN) – Penulisan ini tidak ada maksud tertentu, hanya sekedar menuliskan kekaguman penulis kepada Gus Dur, dan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, yang mana kakek (mbah kakung) penulis, almarhum Kiai Ismail semasa hidupnya sering sowan ke Kiai Haji Chudlori (almarhum), Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo. Dan penulis pada masa kecil sampai remaja juga sering sowan ke Kiai Haji Abdurrahman Chudlori (almarhum) yang merupakan putra dari almarhum Kiai Chudlori, juga Pengasuh Pondok API Tegalrejo.
Saat ini Pengasuh Pondok API Tegalrejo adalah K.H Muhammad Yusuf Chudlori adik dari Kiai Haji Abdurrahman Chudlori (almarhum) , di tengah-tengah masyarakat beliau lebih dikenal dengan sebutan Gus Yusuf. Sebutan Gus merupakan salah satu ciri khas kaum pesantren.
Presiden RI keempat, Abdurahman Wahid (almarhum) yang populer dengan sebutan Gus Dur, pada Khataman Pondok Pesantren (API) Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, bulan Ruwah/Syakban 1412 Hijriah, tahun 1992 Masehi, menyampaikan mau’idzah hasanah (nasehat kebaikan). Pada waktu itu Gus Dur belum menjadi presiden, masih menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Gus Dur yang merupakan alumni Pondok API Tegalrejo, mengawali mau’idzah hasanah dengan guyonan khas beliau. Beliau bercerita tentang suka duka menjadi santri di pondok API Tegalrejo sebelum melanjutkan ke Pondok Gontor dan kuliah di timur tengah dan negara-negara lainnya.
“Kulo sampun nate nyolong jambu, nyolong pelem kagungane warga tonggo Pondok (Saya pernah mencuri buah jambu, buah mangga milik warga tetangga Pondok). Kulo nyuwun pangapunten (Saya memohon maaf), lan nyuwun diikhlaske (dan mohon diikhlaskan),” pinta Gus Dur.
Selanjutnya Gus Dur memberikan wawasan kepada ribuan masyarakat yang menghadiri mau’idzah hasanah tersebut. Karena menjadi tradisi di Pondok API Tegalrejo acara khataman diisi mau’idzah hasanah oleh para kiai dan pagelaran budaya tradisional untuk menghibur masyarakat sekitar pondok, sekaligus melestarikan budaya tradisional yang mengambil filosofi dakwah Walisongo, yakni dakwah melalui pendekatan budaya dan tradisi setempat.
Seiring berjalannya waktu mau’idzah hasanah dan pagelaran budaya ini selain dihadiri ribuan alumni yang berasal dari seluruh wilayah tanah air, mulai dari Aceh sampai Papua. Juga ribuan warga dari kabupaten/kota tetangga.
Gus Dur menyoroti penerbitan majalah Islam bernama Sabi** yang saat itu oplahnya mencapai puluhan ribu eksemplar. Menurut Gus Dur majalah Islam yang terbit bulanan tersebut mendapatkan tempat di hati masyarakat terbukti oplahnya yang naik terus.
“Cilik majalahe, gedhe suarane (kecil majalahnya, besar suaranya),” terang Gus Dur.
Menurut Gus Dur, majalah Sabi** yang bentuknya kecil itu diterbitkan oleh jemaah kecil yang bernama Jemaah Tarbiyah yang bergerak di kampus-kampus, perguruan tinggi-perguruan tinggi, universitas-universitas, terutama yang negeri.
“Cilik koyo semut, upamane dibandingke Nahdlatul Ulama (NU) kuwi koyo gajah (Kecil seperti semut, kalau NU itu ibarat gajah),” lanjutnya.
Lalu bagaimana sebagai warga NU menyikapi jemaah kecil tetapi bersuara besar lewat majalah Sabi**, Gus Dur memberikan nasehat agar saling menghormati antara warga NU dengan Jemaah Tarbiyah.
“(Jemaah Tarbiyah) kuwi yo podho-podho pejuang demokrasi, podho-podho njogo tegake demokrasi (Jemaah Tarbiyah itu juga pejuang demokrasi, sama-sama penjaga tegaknya demokrasi),” Gus Dur menjelaskan.
Menurut wikipedia, Jemaah Tarbiyah menjadi asal usul berdirinya Partai Keadilan (PK) pada 20 Juli 1998 pasca lengsernya pemerintahan Suharto. Partai Keadilan kemudian bertransformasi menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada tanggal 20 April 2002 akibat gagal memenuhi ambang batas parlemen sebesar 2 %.
Pada waktu penulis mendengarkan mau’idzah hasanah oleh Gus Dur ini, menjadi Pengurus Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Ranting Adikarto, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, mulai tahun 1987 yang ditandai dengan kelulusan menjadi peserta Masa Kesetiaan Anggot (Makesta) Tahun 1987.
Menjadi Pengurus IPNU sehingga tahun 1994. Selanjutnya dari tahun 1994-1999 menjadi Pengurus Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Ranting Adikarto, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang.
Tahun 1994, penulis menjadi peserta terbaik Latihan Kader Dasar (LKD), saat ini namanya Pelatihan Kader Dasar (PKD)) GP Ansor Pengurus Cabang Kabupaten Magelang, yang diselenggarakan di Dusun Sudimoro, Desa Adikarto, Kecamatan Muntilan.
Dari Tahun 2016 sampai dengan saat penulisan ini (Tahun 2024) penulis menjadi Pengurus PC GP Ansor Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), dan pernah mengikuti Pelatihan Kader Lanjutan (PKL) GP Ansor Provinsi Kepri pada bulan Januari Tahun 2020, di Kabupaten Karimun. (***)
Editor : Sutana