Ketika Dana Pusat Dipangkas, Pemprov Kepri Cari Nafas dari BUMD dan Labuh Jangkar

Tanjungpinang (SN) – Di ruang pertemuan Gedung Daerah, Kota Tanjungpinang, pada Senin (27/10/2025) lalu, Wakil Gubernur Kepulauan Riau, Nyanyang Haris Pratamura, baru saja menuntaskan konferensi pers peluncuran kalender event pariwisata November 2025.
Wajahnya tampak serius ketika sketsanews.id menyinggung isu yang lebih berat dari festival, yaitu soal anggaran tahun depan.
“Kita mendorong seluruh BUMD agar di tahun 2026 bisa menghasilkan PAD,” katanya.
Kalimat itu terdengar seperti imbauan rutin, tapi konteksnya jauh lebih genting. Tahun depan, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) harus memutar otak lebih keras. Dana transfer dari pemerintah pusat dipastikan menyusut hampir Rp500 miliar.
Pendapatan Menyusut, Daerah Berhemat
Kepri, provinsi kepulauan dengan tujuh kabupaten dan kota, selama ini menggantungkan hampir dua pertiga pendapatannya pada dana transfer pusat. Ketika pusat memangkas, daerah langsung tersengal.
Dalam dokumen KUA-PPAS RAPBD 2026, total pendapatan daerah diproyeksikan hanya Rp3,7 triliun, turun tajam dibanding tahun sebelumnya.
Surat resmi dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, tertanggal 23 September 2025, menjadi kabar buruk. Alokasi dana transfer untuk Kepri hanya Rp1,467 triliun. Artinya, sekitar Rp495,4 miliar potensi penerimaan daerah hilang dari kas Pemprov tahun depan.
“Dampaknya, target pendapatan transfer dan APBD berkurang sekitar Rp495,4 miliar,” kata Gubernur Ansar Ahmad dalam rapat paripurna DPRD Kepri, awal Oktober lalu.
Pemangkasan itu bukan sekadar angka di atas kertas. Bagi Kepri, ini berarti sejumlah proyek infrastruktur bisa tertunda, alokasi belanja pegawai berisiko direvisi, dan tunjangan ASN mungkin kembali jadi isu politik daerah.
Menoleh ke Dalam: BUMD Harus Hidup
Dalam situasi seret kas seperti ini, Pemprov Kepri menoleh ke dalam. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kini didorong menjadi mesin baru penggerak pendapatan asli daerah (PAD).
Kepri memiliki beberapa BUMD, antara lain PT Energi Kepri, PT Pembangunan Kepri, Perumda Tirta Kepri dan PT Pelabuhan Kepri. Namun, hanya Perumda Tirta Kepri yang benar-benar menghasilkan laba. Sedangkan, sisanya masih hidup dari suntikan modal pemerintah.
Nyanyang menyebut PT Energi Kepri kini menjadi harapan utama. Perusahaan ini mendapat hak Participating Interest (PI) sebesar 10 persen dari blok minyak di wilayah perairan Kepri. Skema yang memberi kesempatan bagi daerah menikmati hasil eksplorasi migas di wilayahnya. Namun, potensi itu belum pasti.
“Jumlah PI tergantung dari hasil produksi minyak. Kalau produksi naik, otomatis bagi hasil untuk daerah juga meningkat,” kata Nyanyang.
Artinya, keuntungan masih spekulatif. Jika harga minyak turun atau produksi nasional stagnan, pemasukan daerah pun ikut surut.
BUMD lain, seperti PT Pembangunan Kepri dan PT Pelabuhan Kepri, juga diminta bangkit. Tapi kinerjanya masih jauh dari ideal. Proyek-proyek strategis belum menunjukkan hasil, sementara biaya operasional terus naik. Bahkan, kedua BUMD itu belum punya model bisnis jelas.
Labuh Jangkar: Potensi yang Lama Tidur
Selain menagih kinerja BUMD, Pemprov Kepri juga melirik laut, sumber daya alam terbesar Kepri yang selama ini belum tergarap maksimal. Salah satunya melalui retribusi labuh jangkar.
Wilayah laut Kepri adalah jalur strategis antara Selat Malaka yang dilalui ribuan kapal setiap bulan. Dalam peta ekonomi maritim, posisi ini seharusnya menjadi “tambang emas”.
Tapi selama bertahun-tahun, potensi pendapatan dari sektor ini tidur panjang akibat tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah. Kini, Pemprov tak ingin mengulang kesalahan lama.
“Kita minta pendampingan dari Kejati untuk mengejar potensi pendapatan dari sektor labuh jangkar,” kata Nyanyang.
Pendampingan hukum dibutuhkan karena sektor ini sensitif. Ia melibatkan banyak instansi, dari syahbandar, TNI AL, Bea Cukai, hingga Kementerian Perhubungan. Tanpa koordinasi yang jelas, pendapatan dari retribusi labuh jangkar rawan sengketa dan kebocoran.
Pemprov Kepri memperkirakan, jika dikelola dengan benar, potensi pendapatan bisa mencapai puluhan miliar rupiah per tahun. Menurut, Nyanyang jumlah itu cukup untuk menutup sebagian defisit akibat pemangkasan dana pusat.
Kemandirian Fiskal yang Masih Jauh
Meski berbagai strategi sudah disiapkan, jalan menuju kemandirian fiskal Kepri masih panjang dan terjal.
Data Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) menunjukkan, kontribusi PAD Kepri terhadap total pendapatan masih di bawah 40 persen. Selebihnya bergantung pada dana transfer pusat. Artinya, setiap kali Jakarta menyesuaikan anggaran, Kepri harus menyesuaikan langkah bahkan mungkin menunda pembangunan.
Situasi ini menempatkan Kepri dalam posisi rentan. Plh Sekdaprov Kepri, Adi Prihantara mengatakan, kalau pusat potong anggaran, efeknya langsung terasa di daerah.
“Bahkan pembayaran TPP ASN bisa terpengaruh,” ucapnya, kepada hariankepri.com, pada September lalu.
Sadar akan ketergantungan ini, Gubernur Ansar Ahmad mulai menyiapkan strategi darurat agar pembangunan tidak terhenti.
“Sekarang strategi kita fokus mengejar program-program besar dari pemerintah pusat agar pembangunan di Kepri tidak terhambat,” kata Ansar, Jumat (17/10/2025).
Selain mengoptimalkan program pusat, Pemprov Kepri juga menyiapkan skema pinjaman daerah. Langkah ini ditempuh sebagai alternatif pembiayaan tanpa menaikkan pajak daerah, yang bisa menimbulkan resistensi publik.
“Skema pinjaman ini juga sekaligus memastikan seluruh program pembangunan tetap berjalan sesuai rencana,” sebut Ansar.
Menjelang Rapat Anggaran
Menjelang akhir tahun anggaran, Pemprov Kepri berkejaran dengan waktu. RAPBD 2026 masih dalam pembahasan bersama DPRD, sementara tekanan akibat penurunan dana pusat sudah di depan mata.
Dalam sidang-sidang anggaran, fraksi-fraksi DPRD menuntut penjelasan detail soal efektivitas BUMD dan realisasi program PAD. Publik pun menaruh perhatian, terutama setelah laporan audit terakhir menunjukkan sejumlah penyertaan modal BUMD tak menghasilkan apa-apa.
Ansar dan Nyanyang kini berada di antara dua tekanan, menjaga stabilitas fiskal dan memulihkan kepercayaan publik.
Untuk sekarang, Kepri berdiri di persimpangan. Di satu sisi, tantangan fiskal terbesar dalam satu dekade terakhir. Di sisi lain, kesempatan untuk memperbaiki diri.
Wajah serius Nyanyang di Gedung Daerah siang itu mencerminkan beban itu, antara menjaga janji pembangunan dan menghadapi kenyataan bahwa daerah kaya laut ini masih miskin sumber pendapatan.(Zul)
