Makanan Gratis, Ancaman Nyata: Persakmi Kepri Kritik Tajam Program MBG

Tanjungpinang (SN) – Ketua Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) Kepulauan Riau, Abdul Rauf Rahim angkat bicara terkait kasus keracunan makanan bergizi gratis (MBG) yang tengah ramai sejak beberapa waktu lalu, baik di daerah maupun nasional.
Menurutnya, keracunan akibat mengkonsumsi makanan program MBG jangan dipandang sebagai kasus biasa. Siswa sebagai korban wajib dipandang sebagai konsumen yang merupakan warga Negara yang wajib dilindungi haknya.
“Kasus keracunan MBG di Kepulauan Riau harus dibaca bukan sekadar sebagai insiden keracunan biasa, tetapi sebagai alarm sistemik. Program dengan dampak luas seperti MBG tidak bisa hanya diukur dari jumlah paket yang dibagikan, tetapi juga dari kualitas, keamanan, dan akuntabilitas pelaksanaannya,” jelas Rauf, pada Jumat (3/10/2025).
Ia melanjutkan, kasus keracunan makanan yang menimpa siswa di Karimun dan Batam dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG) tidak bisa dianggap insiden biasa. Dalam epidemiologi kesehatan masyarakat, kondisi ketika lebih dari dua orang mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari sumber yang sama sudah dikategorikan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
“Artinya, respon yang diperlukan tidak sekadar medis, tetapi juga sistematis dan cepat: investigasi epidemiologi, pengujian laboratorium, serta laporan berjenjang dari tingkat puskesmas, dinas kesehatan kabupaten, provinsi, hingga kementerian. Namun dalam kasus ini, respons pemerintah lebih fokus pada aspek mengobati korban daripada preventif mencegah pola berulang,” tegasnya.
Padahal, ketika program MBG dijalankan dalam skala massal, setiap kelalaian kecil dalam standar kebersihan atau distribusi dapat berdampak luas. Keracunan pangan dalam konteks MBG bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga menguji kredibilitas program pemerintah yang sejak awal digadang-gadang sebagai intervensi gizi besar-besaran untuk generasi muda.
Bahan Pangan Low Budget dan Margin Keuntungan
Rauf menduga, di balik peristiwa keracunan MBG, terdapat dilema antara keterbatasan anggaran per porsi makanan dan margin keuntungan penyedia jasa. Program MBG mengharuskan penyedia menghasilkan makanan sehat, bergizi, dan higienis dengan biaya yang relatif rendah.
Tekanan biaya ini akhirnya memaksa penyedia memilih bahan pangan yang lebih murah, meski keamanan dan kualitasnya tidak selalu terjamin.
Dalam situasi ini, margin keuntungan menjadi faktor krusial. Penyedia cenderung memangkas biaya operasional, mulai dari kualitas bahan, penyimpanan, hingga distribusi. Konsep rantai dingin (cold chain) yang seharusnya dipatuhi untuk makanan berprotein tinggi sering diabaikan. Alhasil, bukan hanya kandungan gizi yang berkurang, tetapi juga risiko kontaminasi meningkat.
Cegah Makanan Beracun Gratis
Ketua Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) menganggap persoalan pangan sangat sensitif karena rentan kontaminasi. Untuk itu, standar Good Manufacturing Practice (GMP) wajib diterapkan. GMP adalah pedoman produksi makanan yang menjamin keamanan, kelayakan, dan mutu pangan.
Pengawasan mulai dari bahan, air, proses pengolahan, pekerja, hingga distribusi ke sekolah harus bersih dan higienis. Kalau tidak, potensi kontaminasi bakteri E. coli dan kuman lain sangat besar. Program MBG, menurutnya wajib diisi oleh tenaga kesehatan yang mengerti keamanan pangan.
Program MBG memang mulia dari sisi niat, namun ketika eksekusinya berhadapan dengan logika bisnis, muncul kontradiksi: antara menjaga standar keamanan pangan atau menjaga margin keuntungan. Tanpa pengawasan ketat dan penyesuaian anggaran yang realistis, program semacam ini rawan menjadi bumerang.
Alih-alih meningkatkan gizi generasi muda, justru bisa mengancam kesehatan massal dan menambah beban layanan kesehatan daerah.
Di tempat terpisah, Ketua Badan Perlindungan Konsumen (BPSK) Kota Tanjungpinang, Weldy menjelaskan bahwa kasus program MBG bukanlah ranah BPSK, karena hal tersebut berkenaan dengan program pemerintah, sedangkan BPSK berperan untuk menangani sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen atau masyarakat.
“Hal itu bukan ranah BPSK, namun jika ada masyarakat yang ingin difasilitasi oleh BPSK mungkin akan kami layani, namun sejauh ini kasus keracunan tidak terjadi di Kota Tanjungpinang,” jelas Weldy.
Sementara itu, Kepala Ombudsman Kepri, Lagat Parroha Patar Siadari menyebutkan kasus keracunan di Kepri telah ditangani oleh pihak terkait.
“Hasil koordinasi Ombudsman, persoalan – persoalan MBG sedang ditindak lanjuti oleh BGN Regional Riau – Kepri,” jawabnya singkat. (DRL-SN)
Editor : Emha