Kolonialisme Ekologis di Timur Indonesia, Ketika Sagu Hilang, Identitas Orang Papua Ikut Terkikis

Suara lantang dari timur Indonesia mengguncang ruang diskusi Festival Media (Fesmed) 2025 di Benteng Ujung Pandang, Makassar. Dalam sesi bertajuk Hidup Bersama Hutan: Merekam Perjuangan di Hutan Timur Indonesia. (F-AJI Indonesia)

Makassar (SN) – Suara lantang dari timur Indonesia mengguncang ruang diskusi Festival Media (Fesmed) 2025 di Benteng Ujung Pandang, Makassar, Sabtu (13//9/2025). Dalam sesi bertajuk Hidup Bersama Hutan: Merekam Perjuangan di Hutan Timur Indonesia

Merekam Perjuangan di Hutan Timur Indonesia”, masyarakat adat Papua dan para penggiat lingkungan mengungkap betapa hutan bukan sekadar hamparan hijau, melainkan sumber hidup, ruang sakral, hingga identitas yang kini terancam hilang.

Mama Yasinta, tokoh masyarakat adat Merauke, menyampaikan kesaksiannya dengan getir. Baginya, hutan adalah rumah, dapur, sekaligus makam leluhur.

“Kami tidak tinggal di kota, kami tinggal di hutan. Kami melahirkan di sana, memasak di sana, dan dikuburkan di sana. Saat hutan digusur, itu seperti dapur kami dibakar. Kami kehilangan segalanya, tanah, makanan, air, bahkan anak-anak kami,” ujarnya.

Menurutnya, proyek-proyek besar seperti cetak sawah, bandara, hingga pelabuhan telah merampas hutan lindung, mematikan sumber pangan lokal seperti sagu dan ubi, serta mencemari air minum dengan intrusi air laut.

“Anak-anak kami mulai sakit. Dulu sehat, sekarang tidak. Ada yang sampai meninggal karena minum air tercemar. Kami sudah menyuarakan ini ke Jakarta sejak 2024 bahkan di depan istana, tapi tidak ada yang dengar,” katanya lirih.

Dominggus Mampioper dari Jubi menegaskan bahwa deforestasi di Papua bukan sekadar soal hilangnya tutupan hutan, tetapi juga musnahnya kehidupan.

“Bukan hanya hutan yang hilang, tapi kehidupan juga. Ketika sagu hilang, Papua kehilangan identitasnya,” tegasnya. Ia menggambarkan bagaimana sejak 2017, pembabatan hutan besar-besaran berlangsung, membuat masyarakat pesisir kesulitan mendapatkan air bersih dan pangan tradisional.

Sementara itu, Abdurrahman Abdullah dari FSRG Universitas Hasanuddin menyebut fenomena ini sebagai bentuk kolonialisme ekologis. Papua, menurutnya, kerap dipandang sebagai tanah kosong yang bisa diambil begitu saja.

“Papua dilihat sebagai tanah kosong, padahal ia penuh relasi spiritual dan ekologis. Dianggap tidak ada manusia, lalu ditetapkan sebagai tanah negara. Ini kolonialisme yang dilapisi dengan warna hijau,” jelasnya.

Abdurrahman juga menyoroti ketiadaan pengakuan hukum adat di Papua, berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. “Negara enggan mengakui tanah adat karena status tanah negara jadi lemah. Di Papua, tidak ada hutan adat yang diakui, padahal masyarakat adatnya paling banyak,” tambahnya.

Mama Yasinta menegaskan kembali bahwa masyarakat Papua tidak membutuhkan beras atau pupuk kimia, melainkan pengakuan atas cara hidup mereka yang telah berkelanjutan selama ratusan tahun.

“Kami tidak tahu tanam padi. Kami makan sagu, pisang, dan ubi-ubian. Sekarang, tanah kami tergenang air, tanaman mati semua. Kami dianggap bukan warga negara karena tidak didengar. Lalu di mana keadilan?” ungkapnya penuh emosi.

Meski begitu, ia tetap menitipkan harapan besar. “Kami ingin tetap menjaga hutan kami, karena kalau hutan tidak ada, kami juga tidak bisa hidup. Kami berharap teman-teman dari Makassar, Jakarta, Papua, kita bisa berjalan bersama, bergandengan tangan, menyuarakan ini,” pungkasnya. (SN)

Sumber : AJI Indonesia
Editor : Mukhamad

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *