Fesmed AJI 2024 di Makassar: Seruan Lantang untuk Menjaga Demokrasi dan Kebebasan Pers


Ketua AJI Indonesia Nany Afrida dalam pidatonya di pembukaan Festival Media (Fesmed) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ke-9 di Makassar, Jumat malam (12/9/2025). (F-AJI)

Makassar (SN) – Setelah sempat terhenti akibat pandemi, Festival Media (Fesmed) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) akhirnya kembali digelar. Kota Makassar didapuk sebagai tuan rumah penyelenggaraan Fesmed ke-9, yang berlangsung pada 12–14 September 2024. Ratusan jurnalis dari seluruh Indonesia berkumpul, tak hanya untuk merayakan profesi, tapi juga untuk mengangkat isu yang kian mendesak demokrasi yang tengah sakit, dan kebebasan pers yang terus terancam.

Tema besar yang diusung tahun ini, “Kondisi Demokrasi, Kebebasan Bersuara, dan Kebebasan Pers”, menjadi panggung peringatan sekaligus perlawanan. Bagi AJI, festival ini bukan sekadar acara seremonial. Ini adalah pertemuan penting di tengah situasi demokrasi Indonesia yang kian genting.

“Kita berkumpul kembali karena ada sesuatu yang penting: demokrasi kita sedang sakit. Dan penyakit paling berbahaya yang menyerangnya hari ini adalah pembungkaman kebebasan pers,” tegas Ketua AJI Indonesia Nany Afrida dalam pidatonya di pembukaan acara, Jumat malam (12/9/2025).

Dalam forum yang dipadati jurnalis dari berbagai pelosok negeri, AJI mengingatkan kembali akar dari demokrasi: suara rakyat. Dan di tengah kebisingan propaganda serta polesan narasi kekuasaan, suara rakyat tak akan terdengar jika pers dibungkam.

“Demokrasi tidak lahir dari istana. Demokrasi lahir dari suara rakyat. Dan siapa yang menjaga suara rakyat agar tetap terdengar? Jurnalis,” ujarnya.

Kebebasan pers, ditegaskanya, adalah nafas demokrasi. Tanpanya, yang tersisa hanyalah ilusi kebenaran yang dikendalikan segelintir orang.

Potret suram jurnalisme hari ini semakin kentara. Intimidasi, kriminalisasi, sensor terselubung lewat tekanan ekonomi, hingga kekerasan di lapangan menjadi kenyataan pahit yang dihadapi jurnalis setiap hari.

“Kamera dirampas, ponsel disita, bahkan ada yang dipukul hanya karena menjalankan tugas. Undang-undang dipakai sebagai alat membungkam. Ini bukan demokrasi, ini jalan mundur ke otoritarianisme dengan wajah baru,” tegas AJI.

Ironisnya, ancaman terhadap jurnalis tidak hanya datang dari kekuasaan, tapi juga dari krisis ekonomi di industri media. Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 1.300 jurnalis terkena PHK.

“Di balik setiap angka PHK, ada keluarga yang kehilangan penghidupan. Tapi lebih dari itu, publik kehilangan mata dan telinga,” ungkapnya. “PHK jurnalis adalah bentuk pembungkaman yang senyap.”

Di tengah derasnya arus informasi di media sosial, Nany kembali menegaskan bahwa jurnalisme tidak bisa disamakan dengan konten kreator atau influencer. Jurnalis bekerja bukan demi like atau follower, tapi demi publik.

“Jurnalis tidak mengharapkan gift. Tidak mengincar tawaran endorse. Mereka bertuhankan fakta. Yang mereka bawa hanya pena, kamera, dan keberanian,” ujarnya.

Jurnalis disebut sebagai “profesi untuk orang-orang terpilih” mereka yang siap berdiri di barisan depan, menghadapi kekuasaan dan ketidakadilan, demi kebenaran dan kepentingan publik.

Fesmed kali ini juga menekankan pentingnya membangun jejaring dengan elemen masyarakat sipil lain. AJI menyerukan kolaborasi dengan aktivis lingkungan, pegiat HAM, buruh, komunitas adat, mahasiswa, dan seniman.

“Tanpa pers, perjuangan mereka juga akan hilang. Siapa yang meliput kerusakan hutan? Siapa yang menyuarakan masyarakat adat? Siapa yang mencatat demonstrasi buruh? Jurnalis!” ujarnya.

Festival ini menjadi ruang bertemunya suara-suara yang selama ini bekerja dalam senyap. Tempat berbagi cerita, menyusun strategi, dan membangun solidaritas untuk mempertahankan demokrasi yang sejati.

Ia juga menegaskan bahwa perjuangan mempertahankan kebebasan pers bukan hanya tanggung jawab jurnalis. Ini adalah urusan rakyat.

“Kalau pers jatuh, maka semua perjuangan masyarakat sipil ikut jatuh. Kalau jurnalis dibungkam, rakyat akan kehilangan corongnya. Maka masyarakat harus berdiri di belakang jurnalis.”

Festival Media bukan sekadar ajang tahunan. Ia adalah tanda bahwa semangat jurnalis belum padam. Di tengah tekanan dan ketidakpastian, mereka tetap berdiri, menulis, dan bersuara.

“Tanpa kebebasan pers, tidak ada demokrasi. Tanpa jurnalis yang bebas, tidak ada kebenaran. Dan tanpa kebenaran, rakyat akan tenggelam dalam kebohongan.” (AJI-SN)

Editor : Mukhamad

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *