Rapat Panas di DPR: Google, Meta, TikTok Didesak Transparan Soal Pajak dan Ekonomi Digital

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono dalam forum RDPU yang digelar di Gedung DPR RI, Senayan, pada Selasa (15/7/2025). (F-DPR RI)

Jakarta (SN) – Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Komisi I DPR RI bersama raksasa digital global Google/YouTube, Meta, dan TikTok berlangsung hangat dan penuh sorotan. Dalam forum penting yang membahas arah penyiaran digital dalam RUU Penyiaran ini, para legislator menuntut kejelasan kontribusi nyata dari para platform raksasa tersebut terhadap ekonomi nasional, khususnya dalam hal perpajakan dan perputaran ekonomi.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, membuka pertemuan dengan menekankan bahwa era digital bukan sekadar soal trafik dan konten viral, melainkan juga tentang kontribusi ekonomi yang seharusnya mengalir ke kas negara.

“Yang ingin kita gali bukan hanya capaian pengguna atau fitur baru, tapi seberapa besar perputaran ekonomi yang dihasilkan? Berapa besar pajak yang masuk ke negara?” ujar Dave dalam forum yang digelar di Gedung DPR RI, Senayan, pada Selasa (15/7/2025), sebagaimana dikutip dari laman DPR RI.

Baca Juga : Skandal Beras Oplosan Menggemparkan, Puan: Jangan Biarkan Rakyat Dirugikan

Dave menyentil bahwa pemerintah telah memberikan berbagai bentuk dukungan terhadap industri digital mulai dari pembangunan infrastruktur hingga kebijakan Analog Switch Off (ASO) namun belum ada kejelasan apakah imbal baliknya sepadan.

“Bandwidth sudah disediakan, frekuensi sudah dibuka lewat ASO. Tapi kontribusi nyatanya bagaimana? Ini yang ingin kita telusuri agar kebijakan kita tidak hanya berpihak pada satu sisi,” tegas politisi Partai Golkar itu.

Dalam sesi pemaparan, Head of Public Policy and Government Relations TikTok Indonesia, Hilmi Adrianto, mengungkapkan data mencengangkan TikTok kini mencatat 125 juta pengguna aktif bulanan di Indonesia, dengan 8 juta kreator dan 21 juta penjual aktif di TikTok Shop dan Tokopedia.

Baca Juga : Kunjungan Strategis, Kedubes Korsel Buka Pintu Investasi Masa Depan di Bintan

Menariknya, 63% dari kreator tersebut diklaim mampu meraih pendapatan di atas upah minimum. Tak hanya itu, 60% konten promosi di TikTok mendukung produk lokal.

Namun, ketika DPR menanyakan soal transparansi pajak, muncul keraguan. TikTok menyebut telah menjadi pemungut PPN sejak 2020 sesuai regulasi PMSE, tapi laporan penyetoran pajaknya belum bisa diakses publik.

“Kalau tidak transparan, bagaimana kita bisa membuat regulasi yang adil dan berdampak? Kita perlu data konkret, bukan hanya narasi,” kata Dave.

Komisi I menegaskan bahwa masukan dari platform digital sangat penting dalam menyusun RUU Penyiaran agar tak menjadi produk hukum yang digugat karena minim partisipasi.

“Jangan sampai nanti UU ini dianggap merugikan, padahal sejak awal tidak ada komunikasi. Kita ingin UU ini solid, tidak mentah di Mahkamah Konstitusi, dan membawa dampak riil bagi bangsa,” tegas Dave. (SN)

Editor : Mukhamad

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *