Rencana Kenaikan PPN Dinilai Membebani Masyarakat, Anggota DPR Usulkan Penundaan
Jakarta (SN) – Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025 mendatang mendapat perhatian serius dari publik.
Salah satu yang menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini adalah anggota Badan Anggaran DPR RI, Rico Sia. Ia mengusulkan agar kebijakan tersebut ditunda karena dinilai berpotensi mengganggu momentum pemulihan ekonomi nasional.
Rico menilai kebijakan kenaikan PPN ini perlu dievaluasi secara lebih mendalam, agar tidak membebani masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Dalam pandangannya, kebijakan pajak harus seimbang antara kepentingan negara dan kondisi masyarakat. Jika tidak, dampaknya bisa kontraproduktif dan justru memperburuk keadaan ekonomi masyarakat kecil.
“Kebijakan pajak harus dilihat dari dua sisi, yaitu kepentingan negara dan kondisi masyarakat. Jika keduanya tidak seimbang, dampaknya bisa kontraproduktif,” ungkap Rico usai mengikuti Kunjungan Kerja Banggar DPR RI di Kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Barat, Kamis (28/11/2024) dikutip dari laman DPR RI.
Menurut Rico, meskipun tujuan pemerintah untuk menaikkan PPN adalah untuk meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini justru dapat menambah beban bagi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari dampak ekonomi sebelumnya.
“Saat ini, kondisi ekonomi masyarakat kecil belum sepenuhnya pulih. Jika PPN dinaikkan, mereka akan semakin terpuruk. Ini bukan waktu yang tepat untuk memberlakukan kebijakan tersebut,” tambahnya.
Rico juga menjelaskan bahwa kenaikan PPN akan langsung berdampak pada harga barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memperberat pengeluaran masyarakat, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah dan menengah.
Oleh karena itu, ia mendukung penundaan kebijakan ini agar pemerintah dapat fokus pada kebijakan yang mendukung pemulihan ekonomi, seperti memberikan dukungan pada UMKM dan sektor produktif.
Di sisi lain, meskipun mengakui bahwa peningkatan penerimaan pajak diperlukan untuk menekan defisit anggaran, Rico mengusulkan agar kebijakan ini diterapkan lebih dulu pada pengusaha besar yang memiliki kapasitas lebih untuk berkontribusi pada penerimaan negara.
Hal ini sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam lima tahun mendatang yang telah ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Menyadari target ambisius tersebut, Rico mengingatkan bahwa kebijakan perpajakan yang tidak tepat sasaran dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
“Perlu diingat, ekonomi nasional sangat bergantung pada daya beli masyarakat. Jika daya beli turun akibat kenaikan PPN, pertumbuhan ekonomi bisa terhambat. Kita butuh kebijakan pajak yang lebih strategis dan adil,” jelas Rico.
Menutup pernyataannya, Rico mengusulkan agar pemerintah mencari sumber penerimaan pajak alternatif tanpa memberatkan masyarakat kecil. Salah satunya adalah dengan memperluas basis pajak di sektor informal dan memperketat pengawasan terhadap pengusaha besar.
“Ada banyak cara untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa harus membebani rakyat kecil. Pemerintah bisa fokus pada pengusaha besar atau sektor ekonomi yang masih belum terjangkau pajak. Dengan menunda kebijakan ini dan mengalihkan fokus pada kelompok berpenghasilan tinggi, pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan fiskal dan kesejahteraan rakyat,” tandas Rico.
Di tengah perdebatan ini, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, juga menegaskan bahwa pemerintah akan menyiapkan bantalan subsidi terlebih dahulu sebelum memberlakukan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). (*)
Editor : M Nazarullah