Kisah Pilu Pedagang Pasar Puan Ramah, Sepi Pembeli Omzet Turun dan Merugi
Tanjungpinang (SN) – Siang Ahad itu tepatnya di Pasar Puan Ramah yang berada di jalan Kijang Lama KM 7, Tanjungpinang Timur, Kota Tanjungpinang, suasana yang tadinya hening pecah karena suara bisingnya kendaraan yang melintas. Sejumlah pedagang yang terlihat murung karena memikirkan omzet bergegas melihat ke jalan, mungkin saja ada pembeli yang datang.
Itulah sedikit gambaran Pasar relokasi yang diberi nama Puan Ramah saat ini, seakan jauh dari kata pasar yang biasanya riuh dan ramai, pasar tersebut tampak sepi dan hanya menyisakan 9 pedagang yang terpaksa bertahan untuk berjualan karena janji dan harapan mendapatkan lapak yang lebih baik di pasar baru yang saat ini masih dalam pembangunan.
Ditengah keheningan pasar Puan Ramah, salah satu pedagang bernama Siti Wasilah (60), terlihat sesekali menyeka air mata, dia menatap ke arah jalan dan berharap ada yang datang dan berbelanja ke lapaknya, hal itu wajar karena lebih dari setahun Siti mengaku didera rasa bosan dengan suasana hening pasar, bahkan dirinya selalu merugi akibat cabai dan barang dagangannya tidak laku terjual dan akhirnya membusuk lalu terbuang begitu saja.
“Jangan tanya soal kondisi mas, lihat saja sendiri, sepikan?! rasanya mau menangis tiap hari lihat kondisi begini setahun belakangan, sampai kering air mata saya, wong saya merugi terus disini,” keluh Siti kesal.
Siti sesekali memilah – milah cabai merah yang masih layak dijual, kemudian memisahkan cabai yang membusuk, begitu juga dengan bahan pokok lainnya seperti bawang, sayuran yang tidak laku dijual selama berhari – hari.
Siti adalah perantau dari Pacitan, Jawa timur, selama 35 tahun mengadu nasib di Tanjungpinang, Siti memang sengaja berdagang untuk memenuhi pendapatan sehari – hari, namun ibu dua anak itu harus menelan pil pahit, kala pemerintah Kota Tanjungpinang merelokasi sejumlah pedagang, dari pasar baru I dan pasar baru II pada tahun 2022 lalu, demi melancarkan renovasi pasar yang legenda di Tanjungpinang tersebut.
Baca Juga : Mendagri Minta Kepala Daerah Turun ke Pasar dan Aktifkan Satgas Pangan
Siti adalah satu pedagang yang terdampak, dia bersama ratusan pedagang lainnya dipindahkan ke pasar Puan Ramah. Awalnya Siti bisa mendapatkan omzet Rp.300.000 per hari, meskipun nominal itu jauh dari omzet yang ia dapat di tempat lama.
“Awalnya baik – baik saja mas, saya bisa dapat Rp.300.000 per hari, tapi makin kesini makin turun hingga pada akhirnya saya tak dapat apa – apa disini, justru saya malah tekor karena harus bayar ojek, sewa lapak per bulan, belanja barang serta bayar sewa lapak per bulan ke BUMD,” tutur Siti sambil merapikan dagangannya.
Siti mengungkapkan, walaupun terus merugi dari segi modal dan omzet, ia dan pedagang lainnya masih saja diwajibkan membayar sewa lapak sekitar Rp.200.000 per bulan, menurut Siti ini memberatkan dirinya dan pedagang lain.
“Tega mas, kita sudahlah seperti ini, masih juga bayar ini itu, meskipun ada keringanan menyicil, kami mau tak mau harus bayar kalau mau bertahan.
Dengung lalat dan dengkur kucing liar seakan terdengar jelas di pasar itu, begitu pula suara pedagang yang berbincang ringan, karena memang tidak ada aktivitas jual beli di tempat itu.
Siti Wasilah sesekali menghibur diri dengan melempar candaan pada rekan pedagang lainnya. Seketika raut wajah Siti berubah saat ditanyakan alasan ia bertahan selama satu tahun lebih di Puan Ramah.
“Saya bertahan disini karena diancam, kalau saya tak mau pindah kesini, saya tidak akan dapat lapak di pasar baru nanti, jadi saya takutlah mas,” ungkapnya.
Sebelum melanjutkan kalimat selanjutnya, mata Siti terlihat sedikit berkaca, mungkin karena menahan tangis.
“Suami saya sekarang sedang sakit stroke ringan, jadi hanya saya yang jadi tulang punggung, saya bertahan disini dengan sisa tabungan yang ada, kadang bingung buat biaya bayar sewa rumah, mau nangis malu, mau ngadu tapi tak dipedulikan, jadi pasrah sama Tuhan saja,” katanya.
Siti berharap, pemerintah segera menyelesaikan revitalisasi pasar baru, agar dirinya dapat berjualan di tempat yang lebih ramai, demi meningkatkan ekonomi dan bertahan hidup di hari tuanya.
“Saya cuma pesan, pemerintah lebih cepat pindahkan kami ke tempat baru, kami bosan dan merugi disini, tolonglah dengar keresahan kami,” tutup Siti.
Wartawan : Nazarullah
Editor : Sutana